PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(HAM)
NAMA : TENGKU MAULANA
KELAS : 2 DB 07
NPM : 31108930
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah swt, atas izinnya saya dapat mengerjakan tugas ini,
Semoga tugas ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, karena rakyat Indonesia seakan acuh tak acuh terhadap pasal-pasal yang telah di tetapkan pemerintah,.dan mungkin setelah membaca tugas ini kita semua sbagai rakyat Indonesia akan mematuhi semua aturan- aturan yang ada.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
1.1 PENGERTIAN HAM……………………………………………………………3
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..8
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. Penghilangan orang secara paksa; atau
10. Kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain :
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
6. Hak atas peradilan yang adil
Hak-hak bidang politik, antara lain :
1. Hak untuk menyampaikan pendapat
2. Hak untuk berkumpul dan berserikat
3. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
4. Hak untuk memilih dan dipilih
Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya
Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
1. Hak untuk bekerja
2. Hak untuk mendapat upah yang sama
3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4. Hak untuk cuti
5. Hak atas makanan
6. Hak atas perumahan
7. Hak atas kesehatan
8. Hak atas pendidikan
Hak-hak bidang budaya, antara lain :
1. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
2. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3. Hak untuk memeproleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
Hak Pembangunan
Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
HAK-HAK ASASI MANUSIA
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari :
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggaldi wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, kelaurga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA
Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa
Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya tidak diatur secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM karena sudah diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan lainnya.
Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
* Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
* Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah (Pasal 28 B ayat 1)
* Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
* Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1)
* Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
* Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C ayat 2)
* Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
* Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
* Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3)
* Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
* Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
* Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3)
* Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
* Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G ayat 1)
* Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
* Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
* Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
* Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
* Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
* Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
* Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28 H ayat 4)
* Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1)
* Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
* Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(Sinergi UU Pers Dan UU KIP Untuk Kelangsungan Kemerdekaan Pers)
NAMA : TENGKU MAULANA
NPM : 31108930
KELAS : 2 DB07
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang HAM(Hak Asasi Manusia), yang di sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “HAM” yang sangat sering tidak di ketahui oleh orang lain. Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….1
Sinergi UU Pers Dan UU KIP Untuk Kelangsungan Kemerdekaan Pers ……………………………………………………...………………………………..3
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..7
Sinergi UU Pers Dan UU KIP Untuk Kelangsungan Kemerdekaan Pers
1. TAP MPR NO :XVII/1998 TENTANG HAM:
Pasal 14: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai
hati nurani”.
Pasal 19: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”.
Pasal 20: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”.
Pasal 21: ”Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”.
Pasal 42: ”Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi
2. UU NO 39/1999 TENTANG HAM:
Pasal 14: (1). ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2). ”Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
Pasal 23: (2). ”Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan
atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa”.
Pasal 60: (2). “Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi
pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatuhan”.
4.UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS:
Pasal 4 ayat (3): “ Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
Pasal 6: ”Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui”.
4. AMANDEMEN II UUD 1945:
Pasal 28 E
(3). Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Pasal 28 F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
II. SINERGI UU PERS DAN UU KIP
A. AMANAT UU PERS:
1. Pasal 3 ayat (1): “Pers nasional mempunyai fungsi kontrol sosial”.
2. Pasal 6: “Pers nasional melaksanakan peranan sbb.:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran”.
B. JANJI PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PADA PIDATO KENEGARAAN USAI PELANTIKAN 20 OKTOBER 2004
1. Akan memerangi korupsi,
2. Akan menyelenggarakan pemerintahan bersih dan baik (clean and good governance).
Komitmen Presiden SBY bermakna pers profesional terpanggil untuk melaksanakan jurnalisme investigasi untuk turut memerangi korupsi dan praktik-praktik bad governance lainnya.
C. AMANAT UU KIP:
1. Pejabat publik wajib menyiarkan informasi publik,
2. Pejabat publik harus memajukan pemerintah yang terbuka,
3. Informasi yang dikecualikan harus jelas pengertiannya dan dites kadar “public interest” nya,
4. Permohonan publik untuk tahu diproses cepat, adil,
Penolakan harus sesuai pertimbangan badan independent,
5. Keinginan publik untuk tahu jangan ditakutkan (deterrent) karena ongkos yang mahal,
6. Rapat-rapat badan publik (public bodies) terbuka untuk umum,
7. Pengungkap informasi harus dilindungi.
UU KIP sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut diatas akan membantu dan mengefektifkan fungsi kontrol dan pengawasan pers, serta membantu terwujudnya komitmen Presiden SBY terhadap penyelenggaraan clean and governance.
III. EFEKTIFITAS SINERGI UU PERS DAN UU KIP TERANCAM OLEH BERBAGAI KETENTUAN
DAN UU:
1. Ancaman bersumber dari UU KIP:
Pertama, Pemerintah ngotot mempertahankan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Pasal 5 ayat (1) menyebut: “Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bagi yang menyalah gunakan informasi publik, diancam pidana penjara paling lama satu tahun. (Pasal52) dan/atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah.
Persoalan potensialnya, informasi publik itu justru diperlukan untuk memenuhi akurasi liputan investigasi. Kalau kegiatan seperti itu dapat dinilai melanggar Pasal 5 ayat (1) di atas, tidakkah ketentuan seperti itu berdampak melumpuhkan UU Pers?
Kedua, UU KIP yang akan datang akan mengoperasikan Komisi Informasi. Pemerintah menjadi anggota. Tidakkah ketentuan seperti itu akan mendisain Komisi Informasi yang akan dating seperti Dewan Pers di era Orde Baru, ketuanya orang pemerintah, dan dengan posisi itu dapat mensubordinasi UU KIP itu sendiri?
UU KIP ini adalah UU paradoksal. Brandnya keterbukaan, isinya berkandungan kriminalisasi pengguna informasi. RUU KIP diawali dengan desain untuk memperkuat RUU Pers, tetapi diakhiri dengan desain berpotensi melumpuhkan UU Pers.
2. KUHP dan RUU KUHP mengancam:
Menteri Hukum dan Ham telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda (1917). KUHP berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan orang-orang pers ke penjara Digul. Selama 63 tahun ini masih digunakan memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan.
3. UU Penyiaran (No. 32/2002) mengancam:
UU Penyiaran (No. 32/2002) dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi – termasuk karya jurnalistik – bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai dengan lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
4. UU ITE mengancam:
Perkembangan teknologi informatika berdampak – demi survival dan kemajuan industri suratkabar harus mengikuti konvergensi media. Produk pers selain disebarkan lewat media cetak juga go on line dan mengembangkan industri dengan memiliki stasiun radio, televisi, dan media internet. Media mainstream seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo kini dapat diakses dalam wujud informasi elektronik.
Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dapat dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik dan dokumen elektronik diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu miliar rupiah.
Persoalannya, UU Pers dan KUHP mendefinisi penghinaan dan pencemaran nama baik berbeda.
5. UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kemerdekaan pers:
Pasal 97: “Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu”.
Pasal 98 ayat (1): “KPI atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media cetak”.
Pasal 99 ayat (1): “Pelanggar Pasal 97 diancam pembredelan”.
UU Penyiaran (No.32/2002) Pasal 55 mengatur sanksi terhadap lembaga penyiaran mulai dari teguran tertulis, penghentian acara sementara, denda sampai pencabutan izin.
UU Pers selain menyiadakan pembredelan, berdasar Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) justru “ terhadap setiap orang yang menyensor, membredel, dan yang melarang penyiaran – diancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta,-.
Demikianlah paradoks Indonesia, UU Pers bukan hanya meniadakan pembredelan, juga mengancam penjara siapa saja yang menyensor, yang membredel penerbitan pers. Tetapi UU Pemilu justru memberi otoritas kepada Dewan Pers membredel media cetak.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA)
NAMA : TENGKU MAULANA
NPM : 31108930
KELAS : 2 DB07
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah swt, atas izinnya saya dapat mengerjakan tugas ini,
Semoga tugas ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, karena rakyat Indonesia seakan acuh tak acuh terhadap pasal-pasal yang telah di tetapkan pemerintah,.dan mungkin setelah membaca tugas ini kita semua sbagai rakyat Indonesia akan mematuhi semua aturan- aturan yang ada.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
1.1 PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA……………………………… 3
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..7
PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA
Setelah Soeharto berhasil diturunkan dari kedudukannya sebagai Presiden,
maka Pasal 28 UUD 1945 kembali dihidupkan. Pasal 28 tersebut berbunyi,
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya diatur dengan undang-undang". Hal itu terbayang dari
suara-suara untuk melahirkan partai-partai politik, baik dari kalangan
nasionalis, agama maupun kalangan pekerja. Ditambah pula dengan sikap Junus
Yosfiah, Menteri Penerangan yang mencabut Permenpen No 01/1984 dan memberi
kebebasan kepada wartawan untuk memasuki salah satu organisasi wartawan,
yang sesuai dengan hati nuraninya.
Memang ada yang memperkirakan bahwa kemerdekaan untuk mendirikan
organisasi, bersidang dan berkumpul, mengeluarkan buah pikiran dengan lisan
dan tulisan semacam konsesi sementara dari Habibie untuk mencapai
popularitas. Sebab, jika Habibie terang-terangan menolak diberlakukannya
Pasal 28 UUD 1945 akan mencolok benar bagi umum, bahwa Habibie dalam
berpolitik merupakan foto-kopi dari Soeharto. Tentu desakan agar dia segera
turun, akan makin gencar.
Pada 1998 ini, usia Pasal 28 UUD 1945 itu telah memasuki 53 tahun. Satu
usia yang cukup panjang. Dalam masa 53 tahun itu, pasal 28 UUD 1945 pernah
mengenal masa revolusi fisik ( 1945-1950); masa Demokrasi Parlementer (
1950-5 Juli 1959); masa Demokrasi Terpimpin ( 1959 -1965), masa Demokrasi
Pancasila (1966 - 1998) dan masa Kabinet Reformasi.
Perjalanan Pasal 28 UUD 1945 adalah mengenal pasang dan surutnya, sejalan
dengan pasang dan surutnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Mari lah kita
ikuti perjalanan Pasal 28 UUD 1945 tersebut dan dari mana ia berasal?
ASAL-USUL PASAL 28 UUD 1945
Penulis sangat terbantu dengan tulisan Sutan Ali Asli yang berjudul:
Sedikit lagi tentang Pasal 28 UUD 1945" (Merdeka, 8/7/95). Menurut Sutan Ali
Asli berdasar riwayatnya, konon Pasal 28 ini datangnya dari Bung Hatta. Ide
ini tanpa rumusan konkrit. Karenanya oleh Soepomo diminta rumusan tersebut
pada Bung Hatta. Konsep asli dari Bung Hatta berbunyi, " Hak rakyat untuk
menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul,
diakui oleh negara dan ditentukan dalam Undang-Undang."
Komentar Soepomo atas rumusan Hatta itu, "Kalau begini bunyinya, sebetulnya
menyatakan ada pertentangan antara rakyat dengan negara. Tapi yang dimaksud
oleh tuan Hatta sebetulnya, supaya pemerintah membuat UU tentang hal itu dan
sudah tentu hukum yang menetapkan hak bersidang itu tidaklah nanti ada UU
yang melarangnya."
Rumusan Bung Hatta itu sama sekali tidak menyebut "kemerdekaan". Hanya
berbicara soal hak yang diakui oleh negara dan ditentukan oleh UU. Rumusan
Bung Hatta itu diperbaiki oleh panitia, dengan menangkap esensi pikiran
yang dikehendaki oleh Bung Hatta, yaitu kemerdekaan. Rumusan Panitia
kemudian berbunyi, "Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk
bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dll diatur dengan UU." Dalam rumusan ini kemerdekaan disebutkan.
Rumusan panitia itu tidak segera diterima, mengalami perdebatan lagi.
Setelah kata dan lain-lain, diganti dengan dan sebagainya. Rancangan itu
diterima dan ditempatkan pada Pasal 27 sebagai Ayat 3.
Namun persoalannya belum selesai. Pada rapat-rapat hari terakhir
berdasarkan usul Tan Eng Hoa, ayat 3 itu dilepas dari Pasal 27, ditetapkan
menjadi Pasal 28. Sedang redaksinya mengalami perobahan atas usul
Djayadiningrat, hingga jadi pasal yang bunyinya yang kita warisi sekarang.
Demikian lah sekelumit tentang asal-usul Pasal 28 UUD 1945 tersebut.
Sekarang mari kita masuki masa dipraktekannya.
DI MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950)
Tak berapa lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan,
Presiden Soekarno mengemukakan idenya untuk membentuk sebuah Partai
Nasional. Sebelum ide Presiden Soekarno diwujudkan, maka pada 3 November
1945 keluar "Maklumat Pemerintah" tentang Partai Politik. Isinya anjuran
pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.
Dalam maklumat pemerintah itu disebutkan "Berhubung dengan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan
kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan
restriksi, bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.=20
Pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang
lalu, bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena
dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur
segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Selain itu, pemerintah
berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan
pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan rakyat pada Januari 1946.
Maklumat pemerintah ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohahmad Hatta,
Anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik ini adalah
mengamalkan Pasal 28 UUD 1945.=20
Sesudah imbauan pemerintah ini maka bermunculan lah partai-partai politik
di tanah air, yang kemudian dikenal dengan nama Masyumi, PNI, Partai
sosialis, Partai Buruh Indonesia, PKI, Parkindo, PKRI, PSII, PIR, partai
Murba. Sebagai catatan perlu dikemukakan PKI sendiri, sebelum Maklumat
Pemerintah dikeluarkan pada 21 Oktober 1947 telah muncul ke permukaan.
Partai-partai yang lahir dalam suasana perang kemerdekaan tersebut, mandiri,
mereka hidup dari anggotanya. Umumnya partai-partai ketika itu mempunyai
Badan Usaha sendiri guna membiayai organisasinya. Selain daripada itu, di
antara partai-partai itu ada yang mempunyai badan-badan kelaskaran seperti
Ikayumi dengan Hizbullahnya, PKI dengan Lasykar Merah-nya.
Pada 1946 berdiri organisasi Persatuan Perjuangan (PP) di bawah
pimpinan Tan Malaka. PP terkenal dengan minimum programnya, yaitu "Berunding
atas pengakuan kemerdekaan 100%". Mereka menolak kompromi yang dilakukan PM
Syahrir, karena dianggapnya tak sesuai dengan isi minimum programnya.
Pada 26 Juni 1946 PM Syahrir diculik di Solo oleh kelompok militer
di bawah pimpinan Soedarsono, Komandan Divisi III, di dalamnya termasuk
Komandan Militer Surakarta, Soeharto dan Komandan Batalyon Abdul Kadir
Yusuf. Pada tanggal 1 Juli 1946, 14 orang para pemimpin sipil dari kelompok
tersebut ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Di antara yang
ditangkap tersebut ialah Chaerul Saleh. Adam Malik, Buntaran Budhiarto dan
Moh Saleh. Yamin dan Iwakusuma Sumantri sempat lolos.
Pada 2 Juli 1946 para pemimpin sipil yang ditangkap itu dibebaskan
dari penjara Wirogunan oleh pasukan Soedarsono dan dibawa ke markas Resimen
Soeharto di Wijoro. Malam itu juga mereka siapkan surat-surat yang akan
dipaksakan ditanda-tangani Presiden Soekarno besok paginya. Isinya
memberhentikan Kabinet Syahrir. Besok paginya, rombongan Suedarsono
berangkat ke Istana. Soedarsono gagal memaksa Presiden Soekarno, malah ia
ditangkap. Itulah yang dikenal kudeta 3 Juli 1946 yang gagal di Yogyakarta.
Sungguh pun begitu jelasnya tersangkutnya tokoh-tokoh PP dalam
penculikan PM Syahrir dan kudeta 5 Juli, namun pemerintah tidak sampai
membubarkan PP.
Pada Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta, di antara programnya
melakukan rasionalisasi ketentaraan. Hendak membentuk tentara yang
profesional. Awal September 1948 terjadi penculikan dua orang kader PKI-di
Solo, kemudian diculik pula sementara perwira Panembahan Senopali. Sedang
Komandan Divisinya, Butarto yang anti rasionalisasi telah dibunuh secara
gelap sebelumnya. Meletuslah pertempuran di Solo. Xemudian berkembang ke=
Madiun.
Peristiwa Madiun ini oleh Pemerintah Hatta dikatakan pemberontakan=
PKI,
sedang oleh pihak PKI dikatakan provokasi Hatta untuk melaksanakan red drive
proposal dari Amerika. Sebab, ketika itu PKI sedang menyiapkan Kongres fusi
antara PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh. Yang direncanakan akan
dilangsungkan pada 5 Oktober 1948.
Betapa dangkalnya alasan tuduhan Hatta tersebut dapat diketahui=
melalui
pidatonya di sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948 untuk
"pemberian kekuasaan penuh" pada Presiden Soekarno, guna menumpas apa yang
dikatakan pemberontakan PKI tersebut. Ini lah antara lain yang dikatakan
Hatta, "Tersiar pula berita - entah benar entah tidak - bahwa Muso akan
menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr Amir Syarifuddin perdana
menterinya."(Mohammad Hatta kumpulan pidato 1942-1949, pen.Yayasan Idayufi
1981, hal: 264).
Satu kenyataan yang tak dapat disangkal, meski pun telah terjadi
peristiwa Madiun, hak hidup PKI tetap terjamin. Ini menunjukkan berperannya
Pasal 28 UUD 1945.
DI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER ( 1950-1959)
Konferensi Meja Sunder yang berlangsung di Den Haag pada 1949, =20
telah berhasil melahirkan Republik Indonesia Serikat(RIS). RIS ini tidak
berumur lama. RI Kesatuan segera terbentuk, dengan UUD 1950. Mukadimah
UUD 1950 ini praktis mengoper Mukaddimah UUD 1945.=20
Menurut Drs AK Pringgodigdo SH dalam "Kata Pengantar" dari tiga UUD,
yang diterbitkan oleh PT Pembangoenan, Jakarta, 1966, dikatakan bahwa: "Jika
dilihat dari sudut sejarah, maka UUD 1950 ini telah merupakan suatu
perbaikan dari pada dua UUD yang berlaku lebih dulu" (UUD 1945 dan UUD 1949
RIS -pen).
Bab I dan pasal 1 dari UUD 1950 ini dengan jelas menyatakan bahwa RI
yang merdeka dan demokratis ini ialah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan. Kedaulatan rakyat RI adalah di tangan rakyat dan
dilakukan oleh pemerintahan bersama-sama DPR.
Mengenai kemerdekaan berorganisasi, bersidang dan berkumpul, serta
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, seperti yang terdapat dalam
Pasal 28 UU3 1945, maka dalam UUD 1950 ini ditampung dalam dua pasal, yaitu
Pasal 19 dan Pasal 21.
Pasal 19 berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 21 berbunyi: "Hak penduduk atas
kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan UUD".
Dengan UUD 1950 ini, partai-partai yang terdapat dalam masa revolusi
fisik, juga dapat terus berjalan. Menurut buku "Kepartaian dan Parlementaria
Indonesia" yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1954, partai-par-
tai yang ada ketika itu, pertama, ialah yang berdasarkan kebangsaan. Antara
lain PNI, Harindra, Partai Tani Indonesia, Permai(Partai Persatuan RaLcyat
Harhaen Indonesia), Partai Serikat Kerakyatan lndonesia (SlCI), Partai
Wanita Rakyat, Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Partai Persatuan Indonesia
Raya (PIR), Partai Kebangsaan lndonesia (Parki), Partai Republik Indonesia
Merdeka (PRIM), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN)
dan Partai Republik.
Yang ke dua adalah yang berdasar pada keagamaan. Antara lain PSII,
Partai Katolik, Partai NU, Partai Politik Islam Perti (Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah), Masyumi dan Parlindo.
Yang ke tiga adalah yang berdasarkan sosialisme, yaitu PKI, PSI,
Partai Murba dan Partai Buruh.
Pada 17 Oktober 1952 Jenderal Nasution menghadapkan moncong meriam
ke Istana Merdeka, untuk memaksa Presiden Soekarno membubarkan Parlemen, di
mana partai-partai memainkan peranan yang penting di lembaga parlemen
tersebut. Aksi ini juga ditunjang oleh demonstrasi massa di bawah pimpinan
Dr Mustopo yang PSI. Presiden Soekarno dengan tegas menolak tuntutan
Jenderal Nasution tersebut, Bung Karno tak mau jadi diktator.
Meski pun Peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal itu didukung oleh=
PSI,
melalui Dr Mustopo, namun PS1 juga tidak dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Hanya jabatan KASAD dicabut dari Jenderal Nasution.
Dengan UUD 1950 ini berlangsung kah pemilihan umum yang demokratis=
pada
tahun 1955. Pemilu untuk memilih an=9Cgota-anggota DPR dan Konstituante.=
Hasil
pemilu untuk DPR menunjukkan adanya 4 besar di Indonesia yaitu PNI, Masyumi,=
=20
NU dan PKI. Pada tahun 1957 diselenggarakan pemilu untuk DPRD-DPRD dan=
hasil-
nya suara yang terbesar di Jawa didapat oleh PKI.
Sidang Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD yang baru bagi RI.
Karena masing-masing pihak, baik pihak yang menghendaki negara berdasarkan
Islam maupun yang menghendaki berdasarkan Pancasila sama-sama tak bisa
memperoleh 2/3 suara, sebagai syarat untuk bisa ditetapkannya sebagai kepu
tusan.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya "Islam dan masalah
kenegaraan", yang terbit 1985 mengatakan "Dalam menolak Pancasila dan
mempertahankan Islam sebagai dasar negara, partai-partai Islam bersatu,
sebagaimana telah disebut kan di muka."(hal: 145)
Jadi, jelas partai-partai Islam menolak Pancasila dalam=
Konstituante.
Kegagalan Konstituante menetapkan dasar-dasar negara ini menyebabkan
Presiden Soekarno, atas dorongan Jenderal Nasution, mendekritkan kembali ke
UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Konspirasi terdapat antara Presiden Soekarno dan
Jenderal Nasution karena sama-sama berkepentingan kembalinya ke UUD 1945.
Bagi Presiden Soekarno dengan kembali ke UUD 1945 terbuka baginya untuk
lebih berkuasa, sedang bagi Nasution terbuka pintu bagi ABRI masuk dalam
kekuasaan, yang sudah dicita-citakannya sejak Peristiwa 17 Oktober 1952 yang
gagal itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar